Kak Riska Timothy
(Praktisi dan
Terapis Autis, Pemerhati Anak Berkebutuhan Khusus)
email : riska.timothy72@gmail.com
Rumah
adalah tempat istimewa bagi sebuah keluarga yang bernaung di dalamnya. Sebuah
keluarga yang Tuhan percayakan untuk memulai suatu kehidupan baru. Rumah tidak
hanya berbicara tentang fisiknya yang hanya sebagai tempat tinggal saja, namun
rumah memiliki fungsi lain yang lebih penting yaitu komunikasi, keterbukaan,
otoritas, saling menghargai satu dengan yang lain. Keluarga yang tinggal di
dalam rumah itu. Keluarga yang Tuhan percaya dan Tuhan bentuk lewat Pernikahan
Kudus di dalam Tuhan. Langkah awal memulai suatu kehidupan baru dengan harapan-harapan-harapan
yang terbaik dalam membina keluarga ini. Dimulai dari bagaimana menata rumah
tersebut, pembagian tugasdalam rumah, hingga mulai berencana memiliki seorang
anak yang bisa hadir dalam kehidupan keluarga mereka.
Kabar sukacita diterima, Tuhan percayakan benih cinta
dalam keluarga yang sudah dibentuk. Harapan-harapan yang baik yang terpikir dan
mulai dilakukan. Persiapan untuk bayi mulai dari memilih dokter kandungan yang
baik, makanan yang baik untuk tumbuh kembang janin, kontrol rutin, mempersiapkan
segala perlengkapan bayi, rumah sakit yang terbaik, dan tentunya tak kalah
pentingnya adalah mempersiapkan nama untuk sang bayi dengan arti-arti nama atau
tokoh-tokoh Alkitab dengan harapan bila anak tersebut bertumbuh besar akan
menjadi sama seperti tokoh tersebut. Semua dipersiapkan dan diharapkan yang terbaik akan lahir di dunia.
Proses
kelahiran yang dinanti tiba. Keluarga ini sangat bahagia menyambutnya…keluarga
besar juga menyambut dengan sukacita, sebuah generasi penerus keluarga telah
lahir, yang menjadi harapan di masa yang akan datang, yang bisa membanggakan
orang tua kelak dewasa. Senyum terpancar mengembang, suara tangis bayi yang
dinanti menjadi pemecah keheningan rumah. Tetapi kadang tak seperti yang diharapkan, beberapa keluarga hal
tersebut tidak merasakan hal sama ketika mendapati seorang bayi lemah yang
tergeletak dan terlahir jauh dari normal. Beberapa dari mereka cacat fisik,
beberapa dari mereka menyandang Down Syndrome (keterbelakangan mental), beberapa dari mereka Cerebral
Palsy (Kelainan pada otak), bahkan
mungkin di awal usia perkembangannya normal tetapi menginjak tahun ke 2
mengalami kemunduran dan muncul perilaku-perilaku aneh atau tidak wajar seperti dipanggil tidak menoleh, terlambat bicara, suka menggerak-gerakkan jari/tangan (Flapping), dan lan-lain, dan
anak tersebut ternyata didiagnosa AUTIS.Sebuah istilah yang sering kita dengar
dan tidak asing.Istilah yang
sering digunakan secara “sembarang” untuk menjuluki para
pengguna gadget ketika terlalu asyik
dengan gadgetnya tanpa memperdulikan lingkungannya.
Pada
dasarnya mereka-mereka ini adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Ketika para orang tua
mengetahui keberadaan anaknya yang berkebutuhan khusus, bermacam-macam reaksi
dari para orang tua, beberapa diantaranya menepis
bahwa anak mereka tidak ada masalah, beberapa
diantaranya menangis karena kecewa
dengan Tuhan, beberapa
diantaranya lagi pergi meninggalkan anaknya dan lebih parah lagi beberapa di antara mereka saling menyalahkan antara suami dan istri dan
tidak mau mengakui anaknya yang berkebutuhan khusus. Sulit bagi mereka untuk
menerima dengan sepenuh hati, dan tidak sedikit pula dari antara mereka yang
justru menyalahkan Tuhan atas hadirnya anak berkebutuhan khusus
dalam hidup mereka. “Mengapa harus kami ?, Mengapa harus anak kami ?, Bukankah
Tuhan memberi yang terbaik, namun mengapa harus begini ?”, dan sebagainya. Pertanyaan –
pertanyaan ini banyak terbesit pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Harapan
yang sebelumnya dibangun, harus pupus dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus.
Memerlukan proses untuk menerima dan mungkin saat itu juga penerimaan diri
sudah tercapai, namun penerimaan hati perlu proses ketulusan. Ketulusan hati dari kedua orang tua.
Nah inilah yang seringkali terjadi…salah satu diantara kedua orang tua masih
belum bisa menerima sampai mereka bertumbuh, menganggap tidak ada permasalahan
pada anaknya dan baik-baik saja, walau sebenarnya dengan menerima dan merubah
paradigma, akan mempercepat proses untuk berpikir ke depan.
Juni
2006 lalu saya mendapat telepon dari seorang ibu. Beliau mengetahui nomor saya setelah melihat
dari surat kabar tentang saya yang menyediakan terapi untuk anak berkebutuhan
khusus dengan terapi rumah (Home Visit). Beberapa hari setelah ditelepon kami
mengadakan perjanjian untuk bertemu, saya datang ke rumah untuk melakukan
observasi dan juga berbincang bersama orang tuanya. Ketika saya sampai di
rumahnya, saya masuk dan melihat seorang anak laki-lak berwajah ganteng (sebut
saja namanya “R) sedang naik turun kursi tanpa henti dan tidak mengenal rasa
capek. Mama dan Papa menyambut dengan baik..”Inilah anak kami “R”, beberapa
waktu yang lalu kami dari dokter dan anak kami didiagnosa AUTIS” kata mamanya
kepada saya. Saat itu usia anak 4 tahun dan belum berkomunikasi. Ketika saya
coba memanggil, R tidak bereaksi apapun terhadap panggilan, dan “R” juga suka
menggerak-gerakkan tangan/mengibas-kibaskan tangan berulang (Flapping).
Kemudian ibu dari “R” ini melanjutkan ceritanya bahwa perilaku aneh ini sudah
dicurigai sejak “R” berusia 2 tahun, karena kontak mata tidak ada, dipanggil
juga tidak berespon, apalagi berkomunikasi sama sekali tidak ada, hanya teriak
dan menggumam. Di usia 2 tahun ini ibu dari “R” sudah berencana berkonsultasi
ke dokter, namun sang ayah menolak dengan alasan bahwa tidak ada masalah dengan
perkembangan anaknya dan hanya terlambat, karena dulu ayahnya juga terlambat
untuk memulai bicara. Akhirnya sang ibu menyetujui pendapat ayahnya dan menepis
bahwa tidak ada masalah dengan anaknya. Dan 1 tahun berlalu hingga usia 3
tahun, ayahnyapun juga masih menolak untuk melakukan konsultasi dan ditarget
sampai 1 tahun ke depan yaitu di usia 4 tahun. Dan tibalah saatnya di usia 4
tahun ini ternyata apa yang dikhawatirkan sang ibu terjadi, “R” belum juga
menunjukkan hasil dari perilakunya, semakin tidak terkontrol dan kurang
terbentuk, ketika marah cenderung teriak dan menyerang orang yang ada di
dekatnya. Pola tidurnya juga sedikit mengalami gangguan, tidur selalu di atas
jam 2 malam, 2 tahun sebelumnya kalau tidur jam 12 – 1 malam. Saat inilah sang ibu memutuskan diri
untuk mencarikan solusi untuk “R”. Dengan persamaan pendapat dari sang ayah,
maka mereka memawa “R” ke dokter dan mendapat dignosa Autis dari dokter yang bersangkutan,
dan langkah lebih lanjut anak menjalani tes lab untuk memastikan kandungan
dalam tubuh “R”, kemudian untuk menunjang kemampuan dan pemahaman “R”
dianjurkan untuk menjalani Terapi Perilaku dan Wicara, dll. Diharapkan dengan
mendapat terapi “R” semakin membaik. Atas persetujuan sang ayah pula akhirnya
perjumpaan kami terjadi. Dan satu tahap ke depan akan dimulai ketika orang tua
sudah memutuskan menerima dan merubah paradigma bahwa “R” perlu penanganan
khusus untuk menunjang kemampuan dan pemahaman perilaku terhadap diri sendiri
dan orang lain. Dan upaya ini akan dilakukan demi suatu harapan yang terbaik
dari “R”. Dan ketika kedua orang tua menyatukan persepsi dan menyerahkan kepada
Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan orang yang tepat untuk bekerjasama dengan
orangtuanya di dalam tumbuh kembang anak.
Awal terapi masih observasi 1 minggu dengan memberi
materi apa yang mampu digali untuk proses belajar “R”. Minggu pertama sudah
terasa penolakan keras dari “R” dalam sessi terapinya. Menolak dan menyerang
itu yang selalu dilakukan. Teriak, menarik rambut terapis dengan cukup kuat
ketika anak mulai tidak patuh dengan perintah. Ibu “R” mndengar teriakan “R”
dibelakang menangis tersedu-sedu…sampai beberapa hari tangisan itu saya dengar.
“Berat” katanya singkat seperti tidak tega. Saya bilang itu proses, asal
konsisten pasti ada perubahan. “Ibu Berdoa saja kepada Tuhan dan serahkan
semuanya kepada Tuhan, bahwa ini bagian dari proses keluarga ibu” kata saya.
Sang ibu ini terus menangis dan satu kata saya ucapkan “Kalau ibu tidak tega,
ibu keluar saja dahulu ketika proses terapi berlangsung, tetapi suatu saat ibu
harus tetap tegar. Berpikir positif adalah terbaik, dan berserah padaNya” kata
saya. Cukup membuat tenang sang ibu. Dan karena terapinya konsisten, maka dalam
1 minggu terapi harus diberikan setiap hari. Dan keesokan hari, ketika proses
terapi berlangsung sang ibu segera keluar dari rumah..dan itu dilakukan hingga
dalam kurun waktu 2 bulan, dan kembali ke rumah setelah jam terapi anak
selesai. Dan setelah masa 2 bulan, sang ibu memutuskan untuk tetap bantahan di
dalam rumah, walau secara hati juga berontak mendengar pemberontakan terapi
dari “R”. “mau sampai kapan saya harus di luar, saya harus kuat demi R” kata
ibu dengan hati yang mulai terbuka dan bersikap tegar. Singkat cerita hingga 3 bulan terapi, R sudah
mau meniru (imitasi) setiap gerakan yang saya lakukan. Termasuk meniru kata
dari mulutnya. Ibu “R” tampak senang sekali mendengar perubahan anaknya dan
sesekali sang ibu juga ikut melatih di rumah. Tentunya kemajuan juga cukup baik,
karena ada kerjasama dengan orang tuanya. Tepat tanggal 21 September 2006
spontanitas kata “APA” diucapkannya sebagai respon atas panggilan akan namanya.
Saat itu kami berdua bersorak kegirangan mendengar spontannya, “PUJI TUHAN”…dan
secara langsung saya kembangkan dengan melakukan penawaran terhadap reward
(hadiah) sebagai bentuk respon positif dari anak, dan juga supaya anak
beranggapan bahwa kata tersebut berarti respon atas panggilan. Yah, setahap
lagi…semua Tuhan mulai bukakan dan singkapkan pemahaman anak ketika konsistensi
pembelajaran itu dilakukan. Senyum terkembang di wajah sang ibu dan tak
henti-hentinya mulut berucap “Puji Tuhan” setelah mendengar kata pertama yang
keluar…Harapan itu kembali muncul dengan kuat, berharap akan ada kembali kata
kedua, ketiga dan seterusnya.
Selama kita berdoa, berserah dan menyerahkan diri kepada
Tuhan, serta berusaha bertindak untuk mencari penyelesaian atas sebuah masalah,
maka Tuhan tidak akan tinggal diam. Kisah didalam Injil Yohanes 9:1-7 tentang”Orang yang buta sejak lahir” membawa
kita kepada paradigma yang sama dengan murid-murid Yesus , yang bertanya”
siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga Ia
dilahirkan buta ?jawab Yesus”Bukan dia dan juga bukan orang tuanya, tetapi
karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (ayat 3).Pertama, Jika kita mulai menyadari bahwa keluarga kita sedang
diproses dan dengan iman kita percaya bahwa Tuhan memberikan masa depan yang
penuh harapan, saat itulah pekerjaan-pekerjaan Allah akan dinyatakan didalam
keluarga kita. Kedua, Jika kita mengerjakan pekerjaan Dia, dalam arti
sesungguhnya yaitu tidak hanya berharap tanpa usaha.Tuhan melihat usaha dan
Tuhan mau kita hanya berharap padaNya. Selalu ada harapan bagi setiap orang yang
percaya dan yang mau berpegang teguh pada kebenaran
fimanNya.
Tuhan Yesus Memberkati