Jumat, 14 Februari 2014

Rumahku Harapanku



Kak Riska Timothy
(Praktisi dan Terapis Autis, Pemerhati Anak Berkebutuhan Khusus)
email : riska.timothy72@gmail.com

Rumah adalah tempat istimewa bagi sebuah keluarga yang bernaung di dalamnya. Sebuah keluarga yang Tuhan percayakan untuk memulai suatu kehidupan baru. Rumah tidak hanya berbicara tentang fisiknya yang hanya sebagai tempat tinggal saja, namun rumah memiliki fungsi lain yang lebih penting yaitu komunikasi, keterbukaan, otoritas, saling menghargai satu dengan yang lain. Keluarga yang tinggal di dalam rumah itu. Keluarga yang Tuhan percaya dan Tuhan bentuk lewat Pernikahan Kudus di dalam Tuhan. Langkah awal memulai suatu kehidupan baru dengan harapan-harapan-harapan yang terbaik dalam membina keluarga ini. Dimulai dari bagaimana menata rumah tersebut, pembagian tugasdalam rumah, hingga mulai berencana memiliki seorang anak yang bisa hadir dalam kehidupan keluarga mereka.
            Kabar sukacita diterima, Tuhan percayakan benih cinta dalam keluarga yang sudah dibentuk. Harapan-harapan yang baik yang terpikir dan mulai dilakukan. Persiapan untuk bayi mulai dari memilih dokter kandungan yang baik, makanan yang baik untuk tumbuh kembang janin, kontrol rutin, mempersiapkan segala perlengkapan bayi, rumah sakit yang terbaik, dan tentunya tak kalah pentingnya adalah mempersiapkan nama untuk sang bayi dengan arti-arti nama atau tokoh-tokoh Alkitab dengan harapan bila anak tersebut bertumbuh besar akan menjadi sama seperti tokoh tersebut. Semua dipersiapkan dan diharapkan yang terbaik akan lahir di dunia.
Proses kelahiran yang dinanti tiba. Keluarga ini sangat bahagia menyambutnya…keluarga besar juga menyambut dengan sukacita, sebuah generasi penerus keluarga telah lahir, yang menjadi harapan di masa yang akan datang, yang bisa membanggakan orang tua kelak dewasa. Senyum terpancar mengembang, suara tangis bayi yang dinanti menjadi pemecah keheningan rumah. Tetapi kadang tak seperti yang diharapkan, beberapa keluarga hal tersebut tidak merasakan hal sama ketika mendapati seorang bayi lemah yang tergeletak dan terlahir jauh dari normal. Beberapa dari mereka cacat fisik, beberapa dari mereka menyandang Down Syndrome (keterbelakangan mental), beberapa dari mereka Cerebral Palsy (Kelainan pada otak), bahkan mungkin di awal usia perkembangannya normal tetapi menginjak tahun ke 2 mengalami kemunduran dan muncul perilaku-perilaku aneh atau tidak wajar seperti dipanggil tidak menoleh, terlambat bicara, suka menggerak-gerakkan jari/tangan (Flapping), dan lan-lain, dan anak tersebut ternyata didiagnosa AUTIS.Sebuah istilah yang sering kita dengar dan tidak asing.Istilah yang sering digunakan secara “sembarang” untuk menjuluki para pengguna gadget ketika terlalu asyik dengan gadgetnya tanpa memperdulikan lingkungannya.
Pada dasarnya mereka-mereka ini adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Ketika para orang tua mengetahui keberadaan anaknya yang berkebutuhan khusus, bermacam-macam reaksi dari para orang tua, beberapa diantaranya menepis bahwa anak mereka tidak ada masalah, beberapa diantaranya menangis karena kecewa dengan Tuhan, beberapa diantaranya lagi pergi meninggalkan anaknya dan lebih parah lagi beberapa di antara mereka saling menyalahkan antara suami dan istri dan tidak mau mengakui anaknya yang berkebutuhan khusus. Sulit bagi mereka untuk menerima dengan sepenuh hati, dan tidak sedikit pula dari antara mereka yang justru menyalahkan Tuhan atas hadirnya anak berkebutuhan  khusus dalam hidup mereka. “Mengapa harus kami ?, Mengapa harus anak kami ?, Bukankah Tuhan memberi yang terbaik, namun mengapa harus begini ?”, dan sebagainya. Pertanyaan – pertanyaan ini banyak terbesit pada orang tua anak berkebutuhan khusus. Harapan yang sebelumnya dibangun, harus pupus dengan hadirnya anak berkebutuhan khusus. Memerlukan proses untuk menerima dan mungkin saat itu juga penerimaan diri sudah tercapai, namun penerimaan hati perlu proses ketulusan. Ketulusan hati dari kedua orang tua. Nah inilah yang seringkali terjadi…salah satu diantara kedua orang tua masih belum bisa menerima sampai mereka bertumbuh, menganggap tidak ada permasalahan pada anaknya dan baik-baik saja, walau sebenarnya dengan menerima dan merubah paradigma, akan mempercepat proses untuk berpikir ke depan.
Juni 2006 lalu saya mendapat telepon dari seorang ibu.  Beliau mengetahui nomor saya setelah melihat dari surat kabar tentang saya yang menyediakan terapi untuk anak berkebutuhan khusus dengan terapi rumah (Home Visit). Beberapa hari setelah ditelepon kami mengadakan perjanjian untuk bertemu, saya datang ke rumah untuk melakukan observasi dan juga berbincang bersama orang tuanya. Ketika saya sampai di rumahnya, saya masuk dan melihat seorang anak laki-lak berwajah ganteng (sebut saja namanya “R) sedang naik turun kursi tanpa henti dan tidak mengenal rasa capek. Mama dan Papa menyambut dengan baik..”Inilah anak kami “R”, beberapa waktu yang lalu kami dari dokter dan anak kami didiagnosa AUTIS” kata mamanya kepada saya. Saat itu usia anak 4 tahun dan belum berkomunikasi. Ketika saya coba memanggil, R tidak bereaksi apapun terhadap panggilan, dan “R” juga suka menggerak-gerakkan tangan/mengibas-kibaskan tangan berulang (Flapping). Kemudian ibu dari “R” ini melanjutkan ceritanya bahwa perilaku aneh ini sudah dicurigai sejak “R” berusia 2 tahun, karena kontak mata tidak ada, dipanggil juga tidak berespon, apalagi berkomunikasi sama sekali tidak ada, hanya teriak dan menggumam. Di usia 2 tahun ini ibu dari “R” sudah berencana berkonsultasi ke dokter, namun sang ayah menolak dengan alasan bahwa tidak ada masalah dengan perkembangan anaknya dan hanya terlambat, karena dulu ayahnya juga terlambat untuk memulai bicara. Akhirnya sang ibu menyetujui pendapat ayahnya dan menepis bahwa tidak ada masalah dengan anaknya. Dan 1 tahun berlalu hingga usia 3 tahun, ayahnyapun juga masih menolak untuk melakukan konsultasi dan ditarget sampai 1 tahun ke depan yaitu di usia 4 tahun. Dan tibalah saatnya di usia 4 tahun ini ternyata apa yang dikhawatirkan sang ibu terjadi, “R” belum juga menunjukkan hasil dari perilakunya, semakin tidak terkontrol dan kurang terbentuk, ketika marah cenderung teriak dan menyerang orang yang ada di dekatnya. Pola tidurnya juga sedikit mengalami gangguan, tidur selalu di atas jam 2 malam, 2 tahun sebelumnya kalau tidur jam 12 – 1  malam. Saat inilah sang ibu memutuskan diri untuk mencarikan solusi untuk “R”. Dengan persamaan pendapat dari sang ayah, maka mereka memawa “R” ke dokter dan mendapat dignosa Autis dari dokter yang bersangkutan, dan langkah lebih lanjut anak menjalani tes lab untuk memastikan kandungan dalam tubuh “R”, kemudian untuk menunjang kemampuan dan pemahaman “R” dianjurkan untuk menjalani Terapi Perilaku dan Wicara, dll. Diharapkan dengan mendapat terapi “R” semakin membaik. Atas persetujuan sang ayah pula akhirnya perjumpaan kami terjadi. Dan satu tahap ke depan akan dimulai ketika orang tua sudah memutuskan menerima dan merubah paradigma bahwa “R” perlu penanganan khusus untuk menunjang kemampuan dan pemahaman perilaku terhadap diri sendiri dan orang lain. Dan upaya ini akan dilakukan demi suatu harapan yang terbaik dari “R”. Dan ketika kedua orang tua menyatukan persepsi dan menyerahkan kepada Tuhan, maka Tuhan akan menunjukkan orang yang tepat untuk bekerjasama dengan orangtuanya di dalam tumbuh kembang anak.
            Awal terapi masih observasi 1 minggu dengan memberi materi apa yang mampu digali untuk proses belajar “R”. Minggu pertama sudah terasa penolakan keras dari “R” dalam sessi terapinya. Menolak dan menyerang itu yang selalu dilakukan. Teriak, menarik rambut terapis dengan cukup kuat ketika anak mulai tidak patuh dengan perintah. Ibu “R” mndengar teriakan “R” dibelakang menangis tersedu-sedu…sampai beberapa hari tangisan itu saya dengar. “Berat” katanya singkat seperti tidak tega. Saya bilang itu proses, asal konsisten pasti ada perubahan. “Ibu Berdoa saja kepada Tuhan dan serahkan semuanya kepada Tuhan, bahwa ini bagian dari proses keluarga ibu” kata saya. Sang ibu ini terus menangis dan satu kata saya ucapkan “Kalau ibu tidak tega, ibu keluar saja dahulu ketika proses terapi berlangsung, tetapi suatu saat ibu harus tetap tegar. Berpikir positif adalah terbaik, dan berserah padaNya” kata saya. Cukup membuat tenang sang ibu. Dan karena terapinya konsisten, maka dalam 1 minggu terapi harus diberikan setiap hari. Dan keesokan hari, ketika proses terapi berlangsung sang ibu segera keluar dari rumah..dan itu dilakukan hingga dalam kurun waktu 2 bulan, dan kembali ke rumah setelah jam terapi anak selesai. Dan setelah masa 2 bulan, sang ibu memutuskan untuk tetap bantahan di dalam rumah, walau secara hati juga berontak mendengar pemberontakan terapi dari “R”. “mau sampai kapan saya harus di luar, saya harus kuat demi R” kata ibu dengan hati yang mulai terbuka dan bersikap tegar.  Singkat cerita hingga 3 bulan terapi, R sudah mau meniru (imitasi) setiap gerakan yang saya lakukan. Termasuk meniru kata dari mulutnya. Ibu “R” tampak senang sekali mendengar perubahan anaknya dan sesekali sang ibu juga ikut melatih di rumah. Tentunya kemajuan juga cukup baik, karena ada kerjasama dengan orang tuanya. Tepat tanggal 21 September 2006 spontanitas kata “APA” diucapkannya sebagai respon atas panggilan akan namanya. Saat itu kami berdua bersorak kegirangan mendengar spontannya, “PUJI TUHAN”…dan secara langsung saya kembangkan dengan melakukan penawaran terhadap reward (hadiah) sebagai bentuk respon positif dari anak, dan juga supaya anak beranggapan bahwa kata tersebut berarti respon atas panggilan. Yah, setahap lagi…semua Tuhan mulai bukakan dan singkapkan pemahaman anak ketika konsistensi pembelajaran itu dilakukan. Senyum terkembang di wajah sang ibu dan tak henti-hentinya mulut berucap “Puji Tuhan” setelah mendengar kata pertama yang keluar…Harapan itu kembali muncul dengan kuat, berharap akan ada kembali kata kedua, ketiga dan seterusnya.
            Selama kita berdoa, berserah dan menyerahkan diri kepada Tuhan, serta berusaha bertindak untuk mencari penyelesaian atas sebuah masalah, maka Tuhan tidak akan tinggal diam. Kisah didalam Injil Yohanes 9:1-7  tentang”Orang yang buta sejak lahir” membawa kita kepada paradigma yang sama dengan murid-murid Yesus , yang bertanya” siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga Ia dilahirkan buta ?jawab Yesus”Bukan dia dan juga bukan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (ayat 3).Pertama, Jika kita mulai menyadari bahwa keluarga kita sedang diproses dan dengan iman kita percaya bahwa Tuhan memberikan masa depan yang penuh harapan, saat itulah pekerjaan-pekerjaan Allah akan dinyatakan didalam keluarga kita. Kedua, Jika kita mengerjakan pekerjaan Dia, dalam arti sesungguhnya yaitu tidak hanya berharap tanpa usaha.Tuhan melihat usaha dan Tuhan mau kita hanya berharap padaNya. Selalu ada harapan bagi setiap orang yang percaya dan yang mau berpegang teguh pada kebenaran fimanNya.
Tuhan Yesus Memberkati